
![]() |
Add caption |
Dream is a key for getting a bright future…
By: DYONISIUS H S JEWARU
(I have nothing,.... just spirit to reach scholarship to make it true)
Aku terpana melihat sebuah gambar yang tergantung di sekitar tembok sekolahku, SMAN 1 waikabubak. Bentuknya membuat benda di sekitarnya tampak malu-malu menunjukkan mukanya. Berdiri megah di antara aliran sungai seine yang beriak-riak kecil. Ajaib dan sungguh membuatku terkagum-kagum. Menjulang ke atas dan tampaknya ingin mengambil sesuatu di atas sana. Kulihat di bagian bawah gambar itu, tertulis jelas: “EIFFEL TOWER-PARIS, PERANCIS”. Saat itulah terbesit angan dan mimpiku! Aku tak akan pernah berhenti bermimpi untuk ke sana, menginjakkan kakiku di rana Perancis… rana khayalanku!!!
“Dyo, kamu belum pulang?,” tanya Gadi, sahabatku. Gadi adalah orang yang paling kusayangi selain keluargaku. Dilahirkan dari sebuah keluarga yang broken home ternyata tak menyurutkannya untuk menjalani hidup. “Masih ada tugas yang belum aku kejakan, so… kamu pulang saja duluan,” jawabku. Gadi menganggukkan kepalanya dan tak lama kemudian sudah menghilang di tikungan piket. Aku berjalan ke kelasku, XII Sains, dan mulai sibuk mengerjakan tugas-tugasku.
Identitasku sebagai orang pedalaman ternyata membuat nyaliku menciut melihat ekstrimnya trend modernisasi di kota. Berhadapan dengan teman sebayaku yang mulai dibayang-bayangi oleh laknatnya kehidupan kota, membuat diriku merasa diasingkan. Tampaknya mereka hanyalah generasi penerus bangsa yang tak bisa diharapkan. Lihat saja perawakannya!. Tata krama mereka lenyapkan dan euforia hedonisme mereka tonjolkan. Sekolah mereka hancur berantakkan dan berakibat fatal bagi mereka yang menikmatinya.
Seperti biasa, ayah dan ibu selalu menungguku ketika aku hendak pulang ke rumah. Ayah adalah sosok pendiam yang selalu kukagumi. Seberkas senyuman menjadi pertanda baik dan sebaliknya raut wajah pucat menjadi pertanda buruk. Ah… sungguh temperamental! Satu sahabatku masih ada di rumah. LAPTOP! Ya… walaupun murahan,tapi benda pasif itu hasil kerja keras ayahku selama usia produktifnya. Tak heran apabila aku sudah berada di kamar, rasanya ingin berjam-jam mengutak-atik laptop itu. Tiba-tiba di monitor, tertampak sebuah alamat “Azeliazhyla@yahoo.com”, yang sebelumnya tak pernah kuketahui.
Zhyla: hai… salam kenal! Namaku Zhyla Azelia Devi, biasa dipanggil Zhyla. Aku orang NTT, tapi sekarang tinggal di paris.
Dyo: salam kenal juga! Namaku dyo, panjangnya Dyonisius Aditya Sandryng. Asli Flores dan tinggal di Sumba Barat, NTT.
Zhyla: oh…,eh… sorry! Aku dapat alamat e-mail kamu karena aku ingin sekali curhat dengan orang Indonesia, ya… seperti kamu ini…he…he…he…
Dyo: oh… begitu…
Lama kami saling berbagi pengalaman. Tidak lama kemudian kami bisa mengenal satu sama lain. Dia rupanya mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendididikan di universitas Sorbonne-Paris. 5 jam kami saling curhat. Tiba-tiba…’teng’! I’m falling in love on the first sight! Maybe….!?
******************
Kawan…! Bukannya aku merasa sombong, tapi aku termasuk anak yang berprestasi di sekolahku. Superiorku Albert Einstein, sang Alkhemisku moyang Aristoteles, panglimaku Mr. Achilles dan malaikat kecilku, tentu saja… ayahku tak henti memberi inspirasi untukku. Tak terasa aku sudah di ambang pergantian status dari ‘pelajar’ menjadi ‘mahasiswa’. Tekadku satu! LULUS dengan predikat A! satu minggu menjelang ujian akhir rasanya seperti menjemput kiamat. Penuh penantian dan kecemasan yang menyelimuti pikiranku.
Seperti sekarang ini, aku mesti membaca ratusan buku. Lama aku belajar. Mekanika kuantum, percepaatan gravitasi, integral dan bidang dimensi tiga, ribuan kata bahasa inggris, logika vektor, dan sidikit berbelok ke personifikasi dkk, semuanya melebur menjadi satu di dalam saraf pusatku. Belum lagi ditambah dengan praktikum-praktikum biologi yang makin hari tak karuan banyaknya dan karya tulisku yang sangat tebal. Sore hari aku mau tak mau harus pulang-pergi dari rumah menuju perpustakaan daerah dekat sekolahku. “Bahaya penggunaan sistem bayi tabung bagi moral dan kesehatan manusia” menjadi tema besar dalam halaman pertama karya tulisku. Kursi dan meja seakan marah kepadaku karena kebisingan akibat umpatan-umpatan kontradiktif terhadap tugas-tugas praktikumku yang makin menggunung jumlahnya.
Akhirnya aku sampai kepada titik jenuh, sebuah prosesi klimaks yang berakibat fatal bagi otakku. Mesin-mesin di dalamnya pasti sudah mulai panas, tanda tak mampu lagi. Aku masih bisa memahami bahwa inilah yang menjadi faktor fundamental yang membedakan orang sepintar Albert Einstein dengan manusia paling dungu sedunia, Mr.Bean. Superiorku itu memandang nasib yang harus dijalaninya sebagai isyarat kontradiktif-sama sekali bukan isyarat kekalahan, dan aku percaya bahwa aku tak akan pernah mendahului nasib.
Kelelahan karena belajar tadi membuat diriku seakan terbang ke langit ketujuh. Mata semakin meredup, sipit seperti kebanyakan orang tiongkok, akhirnya tertutup, tanda aktifitas tidur tak bisa ditunda lagi.
*** 1 minggu selanjutnya…***
Tibalah saat yang kunantikan, ujian nasional(UN)…! Sebelum ke sekolah, aku meminta restu dan berkat dari ayah dan ibu. Ayahku yang pendiam dan ibuku yang cerewet hanya tersenyum simpul pertanda harapan abstrak ada di pundakku.
Sekarang, aku dihadapkan pada bebeapa kertas ujian yang telah dihiasi beribu-ribu huruf dan angka. Satu kesalahan sama dengan mengubur impian “getting perferct point”, berpikirlah lalu mengambil kesimpulan. Satu demi satu kuisi lembaran jawabanku. Sampai nomor 39, keningku naik dan berkerut tak menentu. Mekanika kuantum!, ilmu Ernest Rutherford, sang konspiratorku. 2 menit jariku menjadi korban akibat kebingunganku. Begitu teganya aku menggigit jariku sendiri.
***
Aku yakin kalau Tuhan telah menentukan mozaik hidupku. Demi mendapatkan kesuksesan, aku rela melepuh terbakar panas matahari, limbung dihantam dahan-dahan pohon beringin, dan menciut dicengkram angin. Semuanya telah aku rasakan dalam kemenangan manis yang gilang-gemilang dan kekalahan getir yang paling memalukan. Masa depanku ada di sekolah yang paling kudambakan ini, SMAN 1 waikabubak.
Sudah 45 menit aku menunggu ayahku yang belum juga muncul untuk menghadiri acara pengumuman kululusan di aula sekolahku. Berdiri mematung seperti batu sambil diserang oleh sekelompok nyamuk jahat membuat denyut jantungku samar-samar mulai menghilang. Namun, setelah itu aku melihat sebuah benda hitam kecil yang samar-samar melesat… itu motor ayahku! dia datang dengan pakaian terbaiknya, baju berlengan panjang putih berdasi kupu-kupu. Motor bututnya itu pelan-pelan diparkirkan dan ayah segera menghampiriku. Kami berdua melesat ke dalam aula sekolah.
Dengan segala kerja kerasku, aku mempersembahkan suatu hal untuk orang-orang yang kucintai: ayah, ibu, kakek-nenek, Gadi, dan Zhyla; LULUS dengan predikat A dan tahukah engkau kawan!? Hadiahnya beasiswa ke unversitas Sorbonne-Perancis… it’s a wonderful dream for me…! Yeah…
Aku bangga pada diriku sendiri. Tuhan telah memeluk mimpi-mimpiku. Persiapan menuju Paris adalah peristiwa terbesar dalam hidupku. Semua kerabatku mengantar kepergianku. “aku tak akan pulang sebelum menjadi sarjana,” janjiku dalam hati. Sekali lagi, kulihat teman-temanku, kru XII Sains. Mereka juara 1 seluruh dunia! Aku akan merindukan sosok mereka. Tak bisa kutahan air mata ini. Mereka selalu meyakinkanku untuk menjunjung tinggi mimpi-mimpiku, lalu mereka membakar semangatku untuk mencapainya. Mereka adalah antitesis sikap pesimis, panglima yang mengobrakk-abrik mentalitas penakut, dan hulubalang bagi jiwa yang besar. Mereka telah membawaku untuk mengalami hidup seperti apa yang kuinginkan. Hidup dengan tantangan dan gelegak marabahaya.
Perjaalanan ini seakan membuka jalan rahasia dalam kepalaku. Jalan menuju penaklukaan-penaklukan terbesar dalam hidupku, untuk menemukan diriku sendiri…ya menemukan self identity adalah tantangan terbesarku…
***Di Perancis***
Sehari sebelum aku pergi ke Paris, aku telah menghubunngi Zhyla, dan kami berdua akan bertemu saat musim gugur di bawah kaki menara Eiffel. Aku telah membawa kado special di hari ulang tahunnya. Haatiku tak sabar ingin melihat ‘wajahnya’ yang telah mengalihkan duniaku…
Di universitas Sorbonne, aku mengambil jurusan biologi dan tengah menyusun skripsi mikrobiologi modern. Ini sangat bertentangan dengan ajaran si penipu Darwin. Sebagai sumber penghasilan, aku bekerja sebagai seorang wartawan pada salah satu surat khabar di Perancis. Ayah dan ibu sering mengirimkan surat padaku. Hammpir setiap saat aku membacanya di bawah patung Sir Robert Sorbonne yang sudah kusam, dimakan usia.
Musim gugurpun tiba.aku teringat akan janjiku pada Zhyla. Aku segera pergi ke suatu tempat yang masih merupakan area menara Eiffel. Modalku untuk melihat Zhyla hanyalah baju putih dan celana kuning! Ambisi besar telah membawaku datang ke sini. Akhirnya aku berhenti karena melihat sesosok manusia yang samar-samar membuat jantungku terasa mau copot. Rasa lelahku seakan hilang ditelan bumi. Seorang wanita berbaju putih: ZHYLA! ? Aku segera mendekatinya. Semakin dekat semakin jelas. Betapa cantiknya dia dan … astaga! kursi roda itu … dia duduk di sebuah kursi roda. Oh Tuhan…! Dia tak sempurna seperti yang kupikirkan… dia…dia …cacat!?
However, she is my first love. Aku tak akan pernah menyakiti hatinya, tak akan. Bagiku, Zhyla adalah resolusi dari seluruh defenisiku tentang cinta. Aku yakin ‘matahari’ akan kecewa bila aku meninggalkannya. Aku segera menghampirinya. Aku melihat senyum tersimpul di bibir manisnya. Pendidikan dan dirinya kini menemaniku berpetualang di Perancis. Aku segera menggendongnya. Kami berdua duduk di suatu tempat yang indah, sungai seine, sambil ditemani oleh indahnya musim gugur. Lama aku menatap wajahnya, senyumannya. Dengan menirukan gaya guru seni budaya SMA-ku, aku meyakinkannya bahwa hidup itu seni. Dengan meniru gaya wali kelas SMA-ku, aku menceritakan kepingan-kepingan masa laluku, masa-masa putih-abu yang meninggalkan berjuta kesan dan ambisi. Dengan menirukan gaya guru matematika SMA-ku, aku mendeskripsikan bahwa ‘masa sekarang’ tak kebih dari turunan ‘masa depan’, dan ‘masa depan’ tak lebih dari integral ‘masa sekarang’. Dengan menirukan gaya kepala sekolah SMA-ku, aku memastikan padanya “jangan pedulikan apa kata dunia, karena bagi dunia kamu hanyalah seseorang, tetapi sebagai seseorang kamu adalah seluruh duniamu”.

Eureka…eureka! Aku telah menemukannya!
I have found my life…

This short story is composed
By:

STRUGGLE FOR BRIGHT FUTURE
Sekian lama…
Aku tertatih-tatih meniti jalan kehidupan ini
Dan benar-benar terseok mendaki ke puncak gunung kedewasaan
Aku semakin terjarak dengan euphoria hedonisme
Demi menggapai bintang yang bersinar cemerlang di angkasa
Bintang kesuksesan
Jauh…tergantung bintang itu…
Berliter keringat demi menggapai itu
Membuat pesawat terbang ke sana ternyata tak mudah
Sungguh ironis kawan
Matahari terus bersinar
Membuatku terbakar ultraviolet saat ku melangkah
Menggali kepingan-kekpingan pengalaman
Tepukan tangan memberi semangat menggema
Bangkitkanku kembali untuk meraih asa itu
Arahku masih jauh
Namun aku akan teetap mengadu kehidupan ini
Dalam setiap lorong waktu yang aku lewati
kereeenn banget! XD
BalasHapusayo bikin lagi. yang ada tokoh "spica"nya.. ahahah
request mode: on. :P